Senin, 21 Mei 2012

Piagam Madinah Sebagai Cikal Bakal Terwujudnya Masyarakat Madani (Civil Society)


Piagam Madinah Sebagai Cikal Bakal Terwujudnya Masyarakat Madani (Civil Society) 

Dalam masa + 10 tahun berdakwah, Nabi Muhammad SAW baru dapat mengajak kurang dari 80 orang ke dalam ajaran Islam. Kesulitan nabi dalam berdakwah bila dilihat dalam ukuran kwantitatif tersebut disebabkan tantangan yang begitu hebat dari pemuka-pemuka masyarakat Mekkah. Namun dakwah Nabi mulai terdengar di kota Yasrib, sebuah agropolitan di sebelah utara Mekkah. Pada tahun 619 M telah datang 6 orang dari suku Chazraj ke Mekkah di musim haji. Mereka itulah yan mula-mula berkenalan dan mengenal Nabi. Pada tahun ke  11 dari Kenabian atau 620 M atau dua tahun sebelum hijrah, telah datang 10 orang dari Chazraj dan 2 orang dari suku Aus. Setelah mendapat keterangan yang makin  jelas, merekapun akhirnya mengikat suatu ba’iat  atau berjanji untuk  menerima 6 prinsip yang ditawarkan Nabi SAW yaitu: Pertama, mereka tidak lagi mempersekutukan Tuhan. Prinsip ini merupakan landasan yang paling pokok dalam ajaran Islam. Kedua, tidak mencuri dalam segala bentuknya. Janji ini merupakan landasan bagi keamanan bersama.
Ketiga, tidak berzina. Janji ini merupakan landasan bagi keutuhan kehidupan rumah tangga yang rukun dan baik. Keempat, tidak membunuh anak-anak perempuan. Selain kebiasaan keji ini memang harus dihentikan, menghilangkan kebiasaan ini berarti mengakui hak hidup perempuan dan menjamin kelangsungan generasi berikutnya. Kelima, tidak melakukan fitnah. Ini merupakan landasan pembinaan tata pergaulan yang menghindari konflik. Dan keenam, Tidak menolak perintah Allah dan Rasulnya, berarti menerima kepemimpinan Rasulullah SAW. Ba’iat di atas mempunyai arti penting, sebab konsekuensinya sangat luas. Tidak melakukan sesuatu lagi (enam point tsb di atas-pen) itu berdampak dalam mengubah seluruh agenda/cara/pandangan hidup, karena akan mengubah kebiasaan yang telah melembaga pada masyarakat yang jahiliyah (ignorance) oleh al Qur’an itu. Namun perubahan itu tidak berjalan sekaligus.
Agaknya masyarakat Badui memerlukan perundang-undangan yang mengikat perilaku mereka. Tetapi yang paling dibutuhkan adalah yang pertama-tama dapat mengikat mereka menjadi satu. Tanpa ikata itu, akan sulit bagi mereka untuk menempuh cara hidup baru. Pada tahun 622 H, Nabi SAW telah mencapai prestasi yang luar biasa dengan dicapainya kesepakatan bersama antara Nabi dan para pemimpin suku di Madinah, mencakup juga orang-orang Yahudi dan Nasrani. Perjanjian ini yang oleh para orientalis disebut sebagai ”Konstitusi Madinah”, karena memang merupakan Undang-Undang Dasar yang mengikat para individu untuk membentuk suatu masyarakat yang disebut al ummah. Inti sari perjanjian itu dapat dirumuskan dalam butir-butir sebagai berikut: 
1.       Mengaku menjadi warga suatu masyarakat (umat).2.       Bersetuju untuk menegakkan keadilan bagi semua.3.       Keputusan untuk perang dan damai dengan Masyarakat lain dimusyawarahkan  sebagai sikap bersama.4.       Perorangan tidak berhak untuk mengatasnamakan umat.5.       Menjamin kebebasan beragama.6.       Harta benda dan jiwa dilindungi oleh semua.7.       Menghadapi musuh luar secara bersama-sama.8.       Mentaati hukum bersama-sama.9.       Mengakui persamaan hak individu yang dilindungi.10.   Kaum muslim mempunyai hak perlindungan yang sama dengan kaum Yahudi.11.   Madinah adalah zona aman ang berdasarkan dan tunduk kepada undang-undang.12.   Bagi mereka yang berbuat salah atau melakukan kejahatan harus dinyatakan demikian lewat pengadilan.13.   Setiap orang diwajibkan untuk menjauhkan dari dari sikap khianat, mengacau, sewenang-wenang atau merusak tatanan umum. Pertikaian antar kabilah yang tidak selesai harus diserahkan kepada Muhammad SAW untuk menyelesaikan secara tuntas.
Dengan disepakati perjanjian seperti di atas, maka terbentuklah suatu umat atau masyarakat. Para orientalis menyebutnya sebagai Negara (State). Disini negara dan masyarakat merupakan dua sisi mata uang yang sama. Agaknya, demikianlah visi al Qur’an mengenai negara dan masyarakat. Walaupun rumusan perjanjian di atas tidak secara eksplisit dicantumkan dalam al Qur’an, karena bukan wahyu melainkan perjanjian yang dilakukan Rasulullah selaku pemimpin masyarakat, tetapi kita bisa mendapatkan dasar hukumnya dari al Qur’an. Bahkan al Qur’an menyempurnakan ketentuan-ketentuan hukum itu secara kuantiatif maupun kualitatif.
 Tindakan Rasulullah tersebut dikukuhkan dengan perintah Allah dalam al Qur’an agar Nabi membentuk suatu komunitas (Jama’ah) yang jelas visi dan misinya. Perintah itu terdapat dalam Surat Ali Imran  ayat 103 dan 104 yang berbunyi: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada (tali) hukum Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. Dan ingatlah kamu akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (di zaman jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadikanlah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan ketika kamu telah berada di tepi jurang neraka, maka Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya, agar kamu mendapat petunjuk.“Dan hendaklah ada di antara kamu sekelompok umat yang menyeru kepada kebajikan (al khair), menegakkan yang ma’ruf, dan mencegah segala yang munkar; merekalah yang akan mencapai kejayaan.”          Dua ayat itu berkaitan satu sama lain, dan tidak dapat dipisahkan. Yang pertama adalah perintah untuk membentuk kesatuan umat yang bersatu dibawah hukum Ilahi, sedangkan yang kedua ditafsirkan oleh Ibnu Khaldun sebagai sekelompok orang (orang perorang/organisasi/negara/pemerintahan) yang melaksanakan tugas amar ma’ruf dan nahi munkar.   Visi kemasyarakatan yang dapat ditarik dari ayat 103 adalah, Pertama, kesatuan umat yang harus menghindarkan diri dari perpecahan. Dalam kontek Sejarah Indonesia, visi ini diterjemahkan menjadi sila ketiga Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”, Kedua, adalah adanya hukum yang disepakati sebagai pegangan hidup. Tanpa hukum, masyarakat tidak mempunyai “tali” pegangan untuk bergaul, baik diantara anggotanya sendiri, maupun dengan masyarakat lain.Misi dari Negara itu ada tiga, Pertama, adalah menegakkan nilai-nilai kebajikan umum. Kedua, mencapai tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan tertentu dan menjalankan aturan-aturan yang dapat diterima oleh masyarakat (ma’ruf) untuk  mencapai tujuan . Dan Ketiga, mencegah terjadinya kemunkaran, seperti pertikaian, pembunuhan, perzinahan, pelacuran, pencurian dan segala macam kejahatan yang mendatangkan kerusakan dalam masyarakat.Dalam konteks zaman sekarang seperti yang digambarkan al Qur’an itu sering disebut sebagai civil society atau masyarakat madani. Secara singkat masyarakat madani itu adalah sebuah masyarakat yang hidup berdasarkan hukum dan norma-norma yang mengacu kepada keutaman (al khair).Hukum tersebut harus mampu menghantar masyarakat untuk menegakkan segala yang baik bagi masyarakat dan mencegah segela sesuatu yang dapat merusak tatanan masyarakat. Dalam konteks teoritis, masyarakat jahiliyah sebelum datangnya wahyu dapat disebut sebagai state of nature, yaitu suatu kumpulan individu yang belum  terhimpun (organized). Sesudah menerima wahyu dan “berpegang kepada tali Allah”, mereka telah menjelmakan diri sebagai masyarakat madani.
Setelah memahami uraian di atas timbul pertanyaan yang sedikit nakal dalam benak fikiran kita, Kemanakah arah perjuangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita saat ini? Sudah tepatkah arah jarum  perjuangan dalam menegakkan kebajikan di negeri ini? Semoga artikel ini tidak hanya menjadi sampah yang tidak berguna, dan semoga dapat menjadi bahan renungan kita bersama untuk segera bangkit dari tidur kita yang sudah + 400 tahun sejak kita dijajah wong Londho. (Ibn S /Red & Admin/5/01/10).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews