Piagam
Madinah Sebagai Cikal Bakal Terwujudnya Masyarakat Madani (Civil Society)
Dalam masa + 10 tahun
berdakwah, Nabi Muhammad SAW baru dapat mengajak kurang dari 80 orang ke dalam
ajaran Islam. Kesulitan nabi dalam berdakwah bila dilihat dalam ukuran
kwantitatif tersebut disebabkan tantangan yang begitu hebat dari pemuka-pemuka
masyarakat Mekkah. Namun dakwah Nabi mulai terdengar di kota Yasrib, sebuah
agropolitan di sebelah utara Mekkah. Pada tahun 619 M telah datang 6 orang dari
suku Chazraj ke Mekkah di musim haji. Mereka itulah yan mula-mula berkenalan
dan mengenal Nabi. Pada tahun ke 11 dari Kenabian atau 620 M atau dua
tahun sebelum hijrah, telah datang 10 orang dari Chazraj dan 2 orang dari suku
Aus. Setelah mendapat keterangan yang makin jelas, merekapun akhirnya
mengikat suatu ba’iat atau berjanji untuk menerima 6 prinsip
yang ditawarkan Nabi SAW yaitu: Pertama, mereka tidak lagi
mempersekutukan Tuhan. Prinsip ini merupakan landasan yang paling pokok dalam
ajaran Islam. Kedua, tidak mencuri dalam segala bentuknya. Janji
ini merupakan landasan bagi keamanan bersama.
Ketiga, tidak berzina. Janji ini merupakan landasan bagi keutuhan
kehidupan rumah tangga yang rukun dan baik. Keempat, tidak
membunuh anak-anak perempuan. Selain kebiasaan keji ini memang harus
dihentikan, menghilangkan kebiasaan ini berarti mengakui hak hidup perempuan
dan menjamin kelangsungan generasi berikutnya. Kelima, tidak
melakukan fitnah. Ini merupakan landasan pembinaan tata pergaulan yang menghindari
konflik. Dan keenam, Tidak menolak perintah Allah dan Rasulnya,
berarti menerima kepemimpinan Rasulullah SAW. Ba’iat di atas mempunyai
arti penting, sebab konsekuensinya sangat luas. Tidak melakukan sesuatu lagi
(enam point tsb di atas-pen) itu berdampak dalam mengubah seluruh
agenda/cara/pandangan hidup, karena akan mengubah kebiasaan yang telah
melembaga pada masyarakat yang jahiliyah (ignorance) oleh al Qur’an itu.
Namun perubahan itu tidak berjalan sekaligus.
Agaknya masyarakat Badui memerlukan
perundang-undangan yang mengikat perilaku mereka. Tetapi yang paling dibutuhkan
adalah yang pertama-tama dapat mengikat mereka menjadi satu. Tanpa ikata itu,
akan sulit bagi mereka untuk menempuh cara hidup baru. Pada tahun 622 H,
Nabi SAW telah mencapai prestasi yang luar biasa dengan dicapainya kesepakatan
bersama antara Nabi dan para pemimpin suku di Madinah, mencakup juga
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Perjanjian ini yang oleh para orientalis
disebut sebagai ”Konstitusi Madinah”, karena memang merupakan Undang-Undang
Dasar yang mengikat para individu untuk membentuk suatu masyarakat yang disebut
al ummah. Inti sari perjanjian itu dapat dirumuskan dalam butir-butir sebagai
berikut:
1.
Mengaku menjadi warga suatu
masyarakat (umat).2.
Bersetuju untuk menegakkan keadilan
bagi semua.3.
Keputusan untuk perang dan damai
dengan Masyarakat lain dimusyawarahkan sebagai sikap bersama.4.
Perorangan tidak berhak untuk
mengatasnamakan umat.5.
Menjamin kebebasan beragama.6.
Harta benda dan jiwa dilindungi oleh
semua.7.
Menghadapi musuh luar secara
bersama-sama.8.
Mentaati hukum bersama-sama.9.
Mengakui persamaan hak individu yang
dilindungi.10. Kaum muslim mempunyai hak perlindungan yang sama dengan kaum
Yahudi.11. Madinah adalah zona aman ang berdasarkan dan tunduk kepada
undang-undang.12.
Bagi mereka yang berbuat salah atau
melakukan kejahatan harus dinyatakan demikian lewat pengadilan.13. Setiap orang diwajibkan untuk menjauhkan dari dari sikap
khianat, mengacau, sewenang-wenang atau merusak tatanan umum. Pertikaian antar
kabilah yang tidak selesai harus diserahkan kepada Muhammad SAW untuk
menyelesaikan secara tuntas.
Dengan
disepakati perjanjian seperti di atas, maka terbentuklah suatu umat atau
masyarakat. Para orientalis menyebutnya sebagai Negara (State).
Disini negara dan masyarakat merupakan dua sisi mata uang yang sama. Agaknya,
demikianlah visi al Qur’an mengenai negara dan masyarakat. Walaupun rumusan
perjanjian di atas tidak secara eksplisit dicantumkan dalam al Qur’an, karena
bukan wahyu melainkan perjanjian yang dilakukan Rasulullah selaku pemimpin
masyarakat, tetapi kita bisa mendapatkan dasar hukumnya dari al Qur’an. Bahkan
al Qur’an menyempurnakan ketentuan-ketentuan hukum itu secara kuantiatif maupun
kualitatif.
Tindakan
Rasulullah tersebut dikukuhkan dengan perintah Allah dalam al Qur’an agar Nabi
membentuk suatu komunitas (Jama’ah) yang jelas visi dan misinya. Perintah itu
terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 103 dan 104 yang berbunyi: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada (tali) hukum Allah,
dan janganlah kamu bercerai-berai. Dan ingatlah kamu akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (di zaman jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
menjinakkan antara hatimu, lalu menjadikanlah kamu karena nikmat Allah
orang-orang yang bersaudara; dan ketika kamu telah berada di tepi jurang
neraka, maka Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayatNya, agar kamu mendapat petunjuk.“Dan hendaklah ada di
antara kamu sekelompok umat yang menyeru kepada kebajikan (al khair),
menegakkan yang ma’ruf, dan mencegah segala yang munkar; merekalah yang akan
mencapai kejayaan.” Dua
ayat itu berkaitan satu sama lain, dan tidak dapat dipisahkan. Yang pertama
adalah perintah untuk membentuk kesatuan umat yang bersatu dibawah hukum Ilahi,
sedangkan yang kedua ditafsirkan oleh Ibnu Khaldun sebagai sekelompok orang
(orang perorang/organisasi/negara/pemerintahan) yang melaksanakan tugas amar
ma’ruf dan nahi munkar. Visi kemasyarakatan yang dapat ditarik dari
ayat 103 adalah, Pertama, kesatuan umat yang harus menghindarkan
diri dari perpecahan. Dalam kontek Sejarah Indonesia, visi ini diterjemahkan
menjadi sila ketiga Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”, Kedua,
adalah adanya hukum yang disepakati sebagai pegangan hidup. Tanpa hukum,
masyarakat tidak mempunyai “tali” pegangan untuk bergaul, baik diantara
anggotanya sendiri, maupun dengan masyarakat lain.Misi dari Negara itu ada
tiga, Pertama, adalah menegakkan nilai-nilai kebajikan umum. Kedua,
mencapai tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan tertentu dan menjalankan
aturan-aturan yang dapat diterima oleh masyarakat (ma’ruf) untuk mencapai
tujuan . Dan Ketiga, mencegah terjadinya kemunkaran, seperti
pertikaian, pembunuhan, perzinahan, pelacuran, pencurian dan segala macam
kejahatan yang mendatangkan kerusakan dalam masyarakat.Dalam konteks zaman
sekarang seperti yang digambarkan al Qur’an itu sering disebut sebagai civil
society atau masyarakat madani. Secara singkat masyarakat madani
itu adalah sebuah masyarakat yang hidup berdasarkan hukum dan norma-norma yang
mengacu kepada keutaman (al khair).Hukum tersebut harus mampu menghantar
masyarakat untuk menegakkan segala yang baik bagi masyarakat dan mencegah
segela sesuatu yang dapat merusak tatanan masyarakat. Dalam konteks teoritis,
masyarakat jahiliyah sebelum datangnya wahyu dapat disebut sebagai state
of nature, yaitu suatu kumpulan individu yang belum terhimpun (organized).
Sesudah menerima wahyu dan “berpegang kepada tali Allah”, mereka telah
menjelmakan diri sebagai masyarakat madani.
Setelah memahami uraian di atas
timbul pertanyaan yang sedikit nakal dalam benak fikiran kita, Kemanakah arah
perjuangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita saat ini?
Sudah tepatkah arah jarum perjuangan dalam menegakkan kebajikan di negeri
ini? Semoga artikel ini tidak hanya menjadi sampah yang tidak berguna, dan
semoga dapat menjadi bahan renungan kita bersama untuk segera bangkit dari
tidur kita yang sudah + 400 tahun sejak kita dijajah wong Londho. (Ibn S
/Red & Admin/5/01/10).

05.35
Ajeng




0 komentar:
Posting Komentar